Rabu, 14 Maret 2012

Asal Usul Nama Sumatera


Pulau ameh kita jumpai dalam cerita Cindur Mata dari Minangkabau. Dalam cerita rakyat Lampung tercantum nama tanoh mas untuk menyebut pulau mereka yang besar itu. Pendeta I-tsing (634-713) dari Cina, yang bertahun-tahun menetap di Sriwijaya (Palembang) pada abad ke-7, menyebut pulau Sumatera dengan nama chin-chou yang berarti negeri emas.

      Dalam berbagai prasasti, pulau Sumatera disebut dengan nama Sansekerta Swarnadwipa (pulau
emas) atau Swarnabhumi (tanah emas). Nama-nama ini sudah dipakai dalam naskah-naskah India sebelum Masehi. Naskah Buddha yang termasuk paling tua, Kitab Jataka, menceritakan pelaut-pelaut India menyeberangi Teluk Benggala ke Swarnabhumi. Dalam cerita Ramayana dikisahkan pencarian Dewi Sinta, istri Rama yang diculik Rahwana, sampai ke Swarnadwipa.

      Para musafir Arab menyebut pulau Sumatera dengan nama Serendib/Suwarandib, transliterasi dari nama Swarnadwipa. Abu Raihan Al-Biruni, ahli geografi Persia yang mengunjungi Sriwijaya tahun 1030, mengatakan bahwa negeri Sriwijaya terletak di pulau Suwarandib. Cuma entah kenapa, ada juga orang yang mengidentifikasi Serendib dengan Srilanka, yang tidak pernah disebut Swarnadwipa.

      Di kalangan bangsa Yunani purba, Pulau Sumatera sudah dikenal dengan nama Taprobana. Nama Taprobana Insula telah dipakai oleh Klaudios Ptolemaios, ahli geografi Yunani abad kedua Masehi, tepatnya tahun 165, ketika dia menguraikan daerah Asia Tenggara dalam karyanya Geographike Hyphegesis. Ptolemaios menulis bahwa di pulau Taprobana terdapat negeri Barousai. Negeri yang dimaksudkan itu adalah Barus di pantai barat Sumatera, yang terkenal sejak zaman purba sebagai penghasil kapur barus.

      Naskah Yunani tahun 70, Periplous tes Erythras Thalasses, mengungkapkan bahwa Taprobana juga dijuluki chryse nesos, yang artinya pulau emas. Sejak zaman purba para pedagang dari daerah sekitar Laut Tengah sudah mendatangi tanah air kita, terutama Sumatera. Di samping mencari emas, mereka mencari kemenyan (Styrax sumatrana) dan kapur barus (Dryobalanops aromatica) yang saat itu hanya ada di Sumatera. Sebaliknya, para pedagang Nusantara pun sudah menjajakan komoditi mereka sampai ke Asia Barat dan Afrika Timur, sebagaimana tercantum pada naskahHistoria Naturalis karya Plini abad pertama Masehi.

      Dalam kitab umat Yahudi, Melakim (Raja-raja), fasal 9, diterangkan bahwa Nabi Sulaiman a.s. raja Israil menerima 420 talenta emas dari Hiram, raja Tirus yang menjadi bawahan beliau. Emas itu didapatkan dari negeri Ophir. Kitab Al-Qur’an, Surat Al-Anbiya’ 81, menerangkan bahwa kapal-kapal Nabi Sulaiman a.s. berlayar ke “tanah yang Kami berkati atasnya” (al-ardha l-lati barak-Na fiha).

      Di manakah gerangan letak negeri Ophir yang diberkati Allah itu? Banyak ahli sejarah yang berpendapat bahwa negeri Ophir itu terletak di Sumatera! Perlu dicatat, kota Tirus merupakan pusat pemasaran barang-barang dari Timur Jauh. Ptolemaios pun menulisGeographike Hyphegesis berdasarkan informasi dari seorang pedagang Tirus yang bernama Marinus. Dan banyak petualang Eropa pada abad ke-15 dan ke-16 mencari emas ke Sumatera dengan anggapan bahwa di sanalah letak negeri Ophir-nya Nabi Sulaiman a.s.

      Lalu dari manakah gerangan nama “Sumatera” yang kini umum digunakan baik secara nasional maupun oleh dunia internasional? Ternyata nama Sumatera berasal dari nama Samudera, kerajaan di Aceh pada abad ke-13 dan ke-14. Para musafir Eropa sejak abad ke-15 menggunakan nama kerajaan itu untuk menyebut seluruh pulau. Sama halnya dengan pulau Kalimantan yang pernah disebutBorneo, dari nama Brunai, daerah bagian utara pulau itu yang mula-mula didatangi orang Eropa. Demikian pula pulau Lombok tadinya bernama Selaparang, sedangkan Lombok adalah nama daerah di pantai timur pulau Selaparang yang mula-mula disinggahi pelaut Portugis. Memang orang Eropa sering seenaknya saja mengubah-ubah nama tempat. Hampir saja negara kita bernama “Hindia Timur” (East Indies), tetapi untunglah ada George Samuel Windsor Earl dan James Richardson Logan yang menciptakan istilah Indonesia, sehingga kita-kita ini tidak menjadi orang “Indian”.

      Peralihan Samudera (nama kerajaan) menjadi Sumatera (nama pulau) menarik untuk ditelusuri. Odorico da Pardenone dalam kisah pelayarannya tahun 1318 menyebutkan bahwa dia berlayar ke timur dari Koromandel, India, selama 20 hari, lalu sampai di kerajaan Sumoltra. Ibnu Bathutah bercerita dalam kitab Rihlah ila l-Masyriq(Pengembaraan ke Timur) bahwa pada tahun 1345 dia singgah di kerajaan Samatrah. Pada abad berikutnya, nama negeri atau kerajaan di Aceh itu diambil alih oleh musafir-musafir lain untuk menyebutkan seluruh pulau.

      Pada tahun 1490 Ibnu Majid membuat peta daerah sekitar Samudera Hindia dan di sana tertulis pulau Samatrah. Peta Ibnu Majid ini disalin oleh Roteiro tahun 1498 dan muncullah nama Camatarra. Peta buatan Amerigo Vespucci tahun 1501 mencantumkan nama Samatara, sedangkan peta Masser tahun 1506 memunculkan nama Samatra. Ruy d’Araujo tahun 1510 menyebut pulau itu Camatra, dan Alfonso Albuquerque tahun 1512 menuliskannya Camatora. Antonio Pigafetta tahun 1521 memakai nama yang agak ‘benar’: Somatra. Tetapi sangat banyak catatan musafir lain yang lebih ‘kacau’ menuliskannya: Samoterra, Samotra, Sumotra, bahkan Zamatra dan Zamatora.

      Catatan-catatan orang Belanda dan Inggris, sejak Jan Huygen van Linschoten dan Sir Francis Drake abad ke-16, selalu konsisten dalam penulisan Sumatra. Bentuk inilah yang menjadi baku, dan kemudian disesuaikan dengan lidah kita.


Sumber utama:
Nicholaas Johannes Krom, “De Naam Sumatra”, Bijdragen tot deTaal-, Land-, en Volkenkunde, deel 100, 1941.
William Marsden, The History of Sumatra, Oxford University Press,Kuala Lumpur, cetak ulang 1975.

Sumber Tulisan:
http://irfananshory.blogspot.com/2007_05_01_archive.html (6 April 2009)

Piramida Unik

Sadahurip dan Bunyi Kehidupan serta Kehidupan Berbunyi
Di bolak - balik arti SADAHURIP bermakna sama. "Dari sana lah berawalnya bunyi kehidupan atau kehidupan berbunyi". HURIP artinya HIDUP atau lebih dalam lagi artinya adalah KEHIDUPAN, Sedangkan SADA berarti BUNYI. Di Sunda berlaku hukum bacaan DM atau Diterangkan Menerangkan, maka jadilah nama SADAHURIP artinya KEHIDUPAN BERBUNYI. Tetapi apabila diterjemahkan secara MD atau Menerangkan Diterangkan, arti SADAHURIP bisa bermakna sama, berarti BUNYI KEHIDUPAN berawal dari sana. Makanya wajar kalau disana terletak artefak awal kehidupan yang bernama MORTAPHRABEENA , atau alat untuk membantu proses kelahiran bangsa LEMURIA. Inilah dalamnya makna SADAHURIP, dimana unsur penamaan pun disesuaikan dengan sejarah awal dari tempat atau piramida tersebut. Mengapa masyarakat disana mengatakan SADAHURIP, itu ada filosofi nya. Selain dikenal dengan nama gunung SADAHURIP, ada juga sebagian masyarakat disana yang menyebut itu sebagai gunung ASEUPAN, karena berbentuk seperti ASEUPAN atau alat untuk menanak nasi.
Kalimat diatas adalah tanggapan tentang gunung SADAHURIP oleh Dicky Zainal Arifin, penulis trilogi Arkythirema sekaligus inovator teknologi air dan pembawa acara di sebuah televisi.

Letak Gunung Sadahurip di sebelah timur Kampung Cicapar, Desa Sukahurip Kecamatan Pangatikan Garut, dan sebelah barat Kampung Sindang Galih Desa Sindang Galih Kecamatan Karangtengah. Gunung tersebut juga dikenal dengan sebutan Gunung Putri yang memiliki bentuk piramida dengan empat sisi dan sudut lancip yang terbentuk jelas. Menurut Sekertaris Desa Sukahurip Sarif Hidayat, Gunung Sadahurip tersebut sudah berkali-kali diteliti, namun belum ada paparan terkait hasil penelitian berupa peninggalan bersejarah. Gunung tersebut dikenal warga sebagai gunung keramat dan digunakan sebagai tempat bercocok tanam untuk kehidupan masyarakat sehari-hari.

Sadahurip dan Bunyi Kehidupan serta Kehidupan Berbunyi
Disebutkan, Gunung Sadahurip yang menyerupai piramida tersebut sudah dilakukan uji geolistrik dan uji karbon oleh BPPT dan PVMBG. Di dalam bukit diyakini terdapat batuan piramida dengan susunan tanah penutup setebal 5 meter dan tertutup batuan. Batu penyusun didalamnya terlihat berongga, mempunyai 4 sisi dan 4 sudut bujursangkar. Karena mirip piramida, ujung atas gunung sangat lancip. Pada bagian puncak gunung kini terdapat dua lubang tanah menganga kedalaman dua meter dengan diameter 1,5 meter yang digali oleh para peneliti. “Kami tidak tahu untuk apa lubang tanah tersebut,” ujarnya.

Gunung Sadahurip pernah diteliti Komunitas Turangga Seta, bersamaan dengan penelitian di Gunung Lalakon di Kab. Bandung. Salah satu tim sejarah Komunitas Turangga Seta Dani Subrata, mengatakan, semula penelitian terkait piramida di Sadahurip sudah sempat dilakukan oleh pihaknya. “Kalau untuk Lalakon, kami sudah akan mulai gali sambil menunggu izin dari Pemkab Bandung. Sedangkan, Sadahurip kami lepas karena ada tim dari Staff Khusus Kepresidenan RI yang ingin meneliti lebih lanjut,” katanya.

Penelitian Gunung Sadahurip yang bentuknya terlihat mengerucut atau seperti Piramida dari daerah manapun, sudah mulai diteliti sejak tahun 2008. Sekitar sebulan lalu, tim peneliti dari LIPI selama lima hari namun pihak desa belum mendapatkan hasil laporan dari penelitian tersebut. Tim peneliti dari Jakarta juga sempat datang untuk meneliti lempengan gunung tersebut meski belum diketahui hasilnya.